Invasi Rusia ke Ukraina kian menjadi, rocket serta peluru kendali silih berganti meluncur menghancurkan apa saja yang ada didepan mata. Didaerah perbatasan Ukraina, nampak tank-tank pasukan Rusia, serta kendaraan lapis baja lainnya mulai berdatangan mendekati perbukitan yang ada dinegara Ukraina.
Ditempat yang berbeda disebuah pinggiran kota Kiev, nampak Cafe makanan dan minuman yang luput dari serangan tentara Rusia, nampak tetap buka meski wajah-wajah pengunjung disana penuh dengan ketegangan. Jika sebagian penduduk kota telah mengungsi, namun ada beberapa tempat dan segilintir orang yang bertahan. Semua demi kemanusian dan membeci dengan yang namanya perang.
Didalam sebuah Cafe sang pemilik yang bernama Jaey Brown nampak sangat begitu resah. Invasi Rusia ke Ukraina membuat dirinya ingin sekali rasa pergi jauh meninggalkan Eropa timur. Pria kelahiran Moskow Rusia itu, yang lebih memilih menetap di Ukraina sejak dirinya masih kanak-kanak sangat membenci yang namanya perang ataupun pertikaian. Meski ayahnya seorang veteran tentara Soviet, namun jiwa itu tak menurunkan kepadanya. Jaey nampak lebih suka dengan dunia bisnis serta kisah sejarah setiap negara atau sebuah kota. Dalam hal ini Jaey pun tidak membela siapa-siapa. Bahkan kini dirinya tak tahu lagi harus berbuat apa dengan Cafe yang ia miliki. Meski masih banyak pembeli dimasa peperangan namun bagi Jaey keadaan kota Kiev tetap tak nyaman lagi bagi dirinya dan asistennya.
Blleeeeggggaaaaarrrrrrr!!! Sebuah rocket kembali menghantam kota Kiev, entah apa yang dihantam oleh rocket tersebut, gedung atau pusat pertokoan Jaeypun nampak tidak perduli. Sebagian tentara Ukraina nampak mencari tahu dimana rocket itu jatuh dan bersiap siaga, para tentara itupun segera meninggalkan Cafe yang dikelola oleh Jaey Brown, berbarengan dengan hal itu Jaey dikejutkan dengan kehadiran seseorang pria bertopi.
Pria pemilik wajah itu melempar senyum dari radius sepelepasan anak panah dan Jaey Brown makin yakin dia orang yang sama. Buru-buru Jaey membereskan meja, mengemasi uang receh di balik kain penutup meja, lalu berbisik kepada pembantunya, Khanif Lens untuk segera turut berkemas. Namun, rupanya pria pemilik wajah sudah terlampau dekat untuk dia hindari dan bahkan kini berdiri tepat di depan meja dagangan Jaey Brown. Suara peperangan tetap gaduh, tetapi baik Jaey dan pria tersebut nampak tak memperdulikan semuanya.
“Hari masih terlampau siang untuk beberes. Adakah yang mendesakmu untuk segera pergi dari Cafe ini?”... Sapa pria itu sembari menghias wajahnya dengan seulas senyum.
Ah, Jaey mengenali suara khas ini. Suara sedikit bariton dengan aksen sangau yang selalu mengingatkannya kepada tokoh-tokoh penuh dendam dalam film laga. Jaey kembali terpaku karena bingung harus merespons seperti apa atas pertanyaan pria yang begitu dikenalnya, tetapi tak ia ketahui namanya itu.
Jaey masih mematung dengan tatapan seperti pria lajang yang sedang menggaruk selangkangan dan kepergok gadis idamannya yang bernama Amanda.
“Halah, santai saja. Kau ingat aku, ya?”
“Iya, iya,” jawab Jaey gugup.
“Apa kabarmu hari ini?”
“Aku baik-baik saja"... Jaey mulai bisa menguasai diri.
“Syukurlah.”
“Kenapa kamu datang sekarang? Apakah sudah waktunya? Setahuku masih lama. Bahkan lama sekali.”
“Sudah aku bilang, santai saja. Perjanjian kita aman.”
“Kamu sering menemuiku, tetapi aku tak pernah tahu namamu.”
“Ha… ha… ha… Berapa banyak wajah yang kau simpan dalam ingatan, kau ingat dengan baik, tapi kau lupa namanya? Banyak sekali. Untuk apa aku memberi nama diriku untukmu jika kelak kau akan melupakannya.”
“Kalau begitu, aku memanggilmu apa?”
“Biasanya, orang yang memanggilku hanyalah mereka yang putus asa dengan segala kekalutan di dunia. Apakah kau sehancur itu kelak?”
“Aku tak pernah tahu masa depanku. Tapi, aku perlu tahu namamu untuk memudahkan menuliskan cerita hidupku.”
“Aku, sih, yakin kau masih punya cukup waktu untuk menulis banyak cerita. Tapi aku tak yakin kau akan mengingat namaku meskipun berulang aku sebutkan.”
“Kamu terlalu berbelit untuk urusan sesepele menyebutkan nama.”
“Ha… ha… ha… Aku senang kau makin berani berdiskusi, tak seperti pada pertemuan-pertemuan kita sebelumnya, kau selalu gemetaran. Aku Hermany Moors. Panggil saja aku Mans.”
Pria itu membalikkan badan, mengangkat telapak tangan kanan sejajar kepala sebagai tanda perpisahan. Tatapannya berserobok dengan Khanif Lens yang sibuk hilir mudik mengemasi dagangan Jaey Brown.
Khanif Lens masih belum paham betul alasan majikannya meminta dia berkemas dan membawa seluruh tabungannya. Dia hanya tahu hendak pergi jauh, sejauh mungkin dari tempatnya tinggal sekarang yang sedang dilanda perang.
“Kita akan menyeberangi lautan jauh ke selatan.”
“Ke mana, persisnya, Tuan?”
“Ke Nauru.”
“Di mana itu?”
“Negara kecil yang indah dan damai, di dekat Australia. Kamu tidak akan menyesal meskipun seandainya harus mati di sana.”
“Mengapa Tuan menyebut-nyebut kematian? Bukankah kita hendak bersenang-senang?”
“Benar. Kamu benar. Maafkan aku. Kita akan bersenang-senang.”
Sepanjang perjalanan menuju Nauru, Jaey Brown berkisah tentang mimpi-mimpinya. Hampir sepekan sekali dia bermimpi bertemu Mans. Mimpinya bisa berubah tempat dan waktu. Kadang Jaey bermimpi tengah berada di tengah gurun pasir didera kehausan yang amat sangat, lalu Mans datang entah dari mana dengan membawa setangkup air. Seketika Jaey merasa hidup kembali. Di lain mimpi, Jaey berada di tengah laut terombang-ambing gelombang samudra berselimut kabut yang seolah siap menelannya. Jaey yang hanya berpedoman pada sebatang pohon pisang merasa hidupnya tak lama lagi. Lalu, dari balik kabut samudra yang misterius itu muncul sampan dengan seorang pria yang sekuat tenaga mendayungnya. Dialah Mans... Mans kemudian menarik tangan Jaey dan membawanya ke tepi pantai bermandi sinar matahari yang berderet beragam pohon berbuah tak jauh dari sana.
“Setiap bermimpi bertemu Mans, bisa dibilang selalu berakhir indah.”
“Lalu kenapa kita harus menghindarinya?” tanya Khanif Lens heran.
“Dalam setiap mimpi itu, Mans selalu berpesan bahwa tugas dia adalah mengawal dan mencabut nyawaku. Tapi, dia tidak pernah memberi tahu kapan dan di mana tugas itu akan dia tunaikan.”
Mendengar itu Knanif Lens nampak bergidik.
“Dia juga pernah berpesan bahwa jika suatu hari aku melihatnya di dunia ini, berarti akan ada nyawa yang hilang"... Lanjut Jaey.
Khanif Lens menelan ludah dan wajahnya seketika masygul. Dia membetulkan tempat duduk lalu pandangannya menerawang membayangkan banyak hal ngeri.
Ditempat yang berbeda disebuah pinggiran kota Kiev, nampak Cafe makanan dan minuman yang luput dari serangan tentara Rusia, nampak tetap buka meski wajah-wajah pengunjung disana penuh dengan ketegangan. Jika sebagian penduduk kota telah mengungsi, namun ada beberapa tempat dan segilintir orang yang bertahan. Semua demi kemanusian dan membeci dengan yang namanya perang.
Didalam sebuah Cafe sang pemilik yang bernama Jaey Brown nampak sangat begitu resah. Invasi Rusia ke Ukraina membuat dirinya ingin sekali rasa pergi jauh meninggalkan Eropa timur. Pria kelahiran Moskow Rusia itu, yang lebih memilih menetap di Ukraina sejak dirinya masih kanak-kanak sangat membenci yang namanya perang ataupun pertikaian. Meski ayahnya seorang veteran tentara Soviet, namun jiwa itu tak menurunkan kepadanya. Jaey nampak lebih suka dengan dunia bisnis serta kisah sejarah setiap negara atau sebuah kota. Dalam hal ini Jaey pun tidak membela siapa-siapa. Bahkan kini dirinya tak tahu lagi harus berbuat apa dengan Cafe yang ia miliki. Meski masih banyak pembeli dimasa peperangan namun bagi Jaey keadaan kota Kiev tetap tak nyaman lagi bagi dirinya dan asistennya.
Blleeeeggggaaaaarrrrrrr!!! Sebuah rocket kembali menghantam kota Kiev, entah apa yang dihantam oleh rocket tersebut, gedung atau pusat pertokoan Jaeypun nampak tidak perduli. Sebagian tentara Ukraina nampak mencari tahu dimana rocket itu jatuh dan bersiap siaga, para tentara itupun segera meninggalkan Cafe yang dikelola oleh Jaey Brown, berbarengan dengan hal itu Jaey dikejutkan dengan kehadiran seseorang pria bertopi.
Pria pemilik wajah itu melempar senyum dari radius sepelepasan anak panah dan Jaey Brown makin yakin dia orang yang sama. Buru-buru Jaey membereskan meja, mengemasi uang receh di balik kain penutup meja, lalu berbisik kepada pembantunya, Khanif Lens untuk segera turut berkemas. Namun, rupanya pria pemilik wajah sudah terlampau dekat untuk dia hindari dan bahkan kini berdiri tepat di depan meja dagangan Jaey Brown. Suara peperangan tetap gaduh, tetapi baik Jaey dan pria tersebut nampak tak memperdulikan semuanya.
“Hari masih terlampau siang untuk beberes. Adakah yang mendesakmu untuk segera pergi dari Cafe ini?”... Sapa pria itu sembari menghias wajahnya dengan seulas senyum.
Ah, Jaey mengenali suara khas ini. Suara sedikit bariton dengan aksen sangau yang selalu mengingatkannya kepada tokoh-tokoh penuh dendam dalam film laga. Jaey kembali terpaku karena bingung harus merespons seperti apa atas pertanyaan pria yang begitu dikenalnya, tetapi tak ia ketahui namanya itu.
Jaey masih mematung dengan tatapan seperti pria lajang yang sedang menggaruk selangkangan dan kepergok gadis idamannya yang bernama Amanda.
“Halah, santai saja. Kau ingat aku, ya?”
“Iya, iya,” jawab Jaey gugup.
“Apa kabarmu hari ini?”
“Aku baik-baik saja"... Jaey mulai bisa menguasai diri.
“Syukurlah.”
“Kenapa kamu datang sekarang? Apakah sudah waktunya? Setahuku masih lama. Bahkan lama sekali.”
“Sudah aku bilang, santai saja. Perjanjian kita aman.”
“Kamu sering menemuiku, tetapi aku tak pernah tahu namamu.”
“Ha… ha… ha… Berapa banyak wajah yang kau simpan dalam ingatan, kau ingat dengan baik, tapi kau lupa namanya? Banyak sekali. Untuk apa aku memberi nama diriku untukmu jika kelak kau akan melupakannya.”
“Kalau begitu, aku memanggilmu apa?”
“Biasanya, orang yang memanggilku hanyalah mereka yang putus asa dengan segala kekalutan di dunia. Apakah kau sehancur itu kelak?”
“Aku tak pernah tahu masa depanku. Tapi, aku perlu tahu namamu untuk memudahkan menuliskan cerita hidupku.”
“Aku, sih, yakin kau masih punya cukup waktu untuk menulis banyak cerita. Tapi aku tak yakin kau akan mengingat namaku meskipun berulang aku sebutkan.”
“Kamu terlalu berbelit untuk urusan sesepele menyebutkan nama.”
“Ha… ha… ha… Aku senang kau makin berani berdiskusi, tak seperti pada pertemuan-pertemuan kita sebelumnya, kau selalu gemetaran. Aku Hermany Moors. Panggil saja aku Mans.”
Pria itu membalikkan badan, mengangkat telapak tangan kanan sejajar kepala sebagai tanda perpisahan. Tatapannya berserobok dengan Khanif Lens yang sibuk hilir mudik mengemasi dagangan Jaey Brown.
Khanif Lens masih belum paham betul alasan majikannya meminta dia berkemas dan membawa seluruh tabungannya. Dia hanya tahu hendak pergi jauh, sejauh mungkin dari tempatnya tinggal sekarang yang sedang dilanda perang.
“Kita akan menyeberangi lautan jauh ke selatan.”
“Ke mana, persisnya, Tuan?”
“Ke Nauru.”
“Di mana itu?”
“Negara kecil yang indah dan damai, di dekat Australia. Kamu tidak akan menyesal meskipun seandainya harus mati di sana.”
“Mengapa Tuan menyebut-nyebut kematian? Bukankah kita hendak bersenang-senang?”
“Benar. Kamu benar. Maafkan aku. Kita akan bersenang-senang.”
Sepanjang perjalanan menuju Nauru, Jaey Brown berkisah tentang mimpi-mimpinya. Hampir sepekan sekali dia bermimpi bertemu Mans. Mimpinya bisa berubah tempat dan waktu. Kadang Jaey bermimpi tengah berada di tengah gurun pasir didera kehausan yang amat sangat, lalu Mans datang entah dari mana dengan membawa setangkup air. Seketika Jaey merasa hidup kembali. Di lain mimpi, Jaey berada di tengah laut terombang-ambing gelombang samudra berselimut kabut yang seolah siap menelannya. Jaey yang hanya berpedoman pada sebatang pohon pisang merasa hidupnya tak lama lagi. Lalu, dari balik kabut samudra yang misterius itu muncul sampan dengan seorang pria yang sekuat tenaga mendayungnya. Dialah Mans... Mans kemudian menarik tangan Jaey dan membawanya ke tepi pantai bermandi sinar matahari yang berderet beragam pohon berbuah tak jauh dari sana.
“Setiap bermimpi bertemu Mans, bisa dibilang selalu berakhir indah.”
“Lalu kenapa kita harus menghindarinya?” tanya Khanif Lens heran.
“Dalam setiap mimpi itu, Mans selalu berpesan bahwa tugas dia adalah mengawal dan mencabut nyawaku. Tapi, dia tidak pernah memberi tahu kapan dan di mana tugas itu akan dia tunaikan.”
Mendengar itu Knanif Lens nampak bergidik.
“Dia juga pernah berpesan bahwa jika suatu hari aku melihatnya di dunia ini, berarti akan ada nyawa yang hilang"... Lanjut Jaey.
Khanif Lens menelan ludah dan wajahnya seketika masygul. Dia membetulkan tempat duduk lalu pandangannya menerawang membayangkan banyak hal ngeri.
Di Nauru, Jaey dan Khanif mudah sekali menemukan tempat dan hidup layak. Dengan modal hasil bekerja di negaranya dulu, sangat cukup untuk membuka usaha baru di Nauru. Kelihaian mereka berdagang menjadi keterampilan langka di sana karena warga Nauru terbiasa hidup enak dengan penghasilan memadai dari tambang. Jaey dan Khanif bahagia bisa ikut menikmati kehidupan yang nyaman dan aman itu. Mereka bahkan berhasil membeli kedai kecil di pusat perbelanjaan. Apalagi alam Nauru sungguh elok. Jauh lebih elok dari negerinya yang gersang dan kerap terjadi bentrok dalam hal politik. Jaey dan Khanif merasa lari dari neraka dan menemukan surga. Berbulan-bulan mereka menikmati hidup tenang dan mapan. Namun, hidup tak pernah selamanya baik-baik saja, selalu ada hal-hal yang membuat khawatir dan akhirnya merusak ketenangan.
Pagi baru datang membawa angin semilir dan sinar lembut dari timur. Khanif Lens baru saja membuka kedai ketika desir angin membelai wajahnya. Matanya memicing disapa sinar matahari. Beberapa menit kemudian Jaey datang membawa dua bungkus roti untuk sarapan. Sembari menunggu pelanggan, mereka menikmati pagi dengan roti dan secangkir kopi. Menjelang suapan terakhir, Jaey mematung. Sisa roti yang dia pegang membeku di depan mulut. Matanya memandang lurus ke arah matahari terbit. Di kejauhan sana, terlihat siluet seorang pria berjalan mendekat. Jaey tahu, itu Mans.
“Ada urusan apa kamu ke sini?” todong Jaey Brown begitu Mans masuk kedainya.
"Urusanku banyak. Salah satunya memastikan kau baik-baik saja"... Balas Mans sembari menarik kursi dan duduk tanpa menunggu dipersilakan.
“Apa ini berarti waktuku sudah dekat?”
“Bukan hakku untuk memberi tahu.”
“Paling tidak, tolong kasih tahu aku jika memang ini belum waktuku.”
“Maaf, kawan. Bukan begitu cara kerjanya.”
Meskipun nada bicara Mans amat santun dan lembut, tetap saja itu mengguncang ketenangan Jaey. Kehadiran Mans selalu merujuk kepada ingatan tentang kematian. Itulah yang mendorong dia mengajak Khanif Lens pindah jauh ke timur meninggalkan Nauru. Khanif sempat menolak lantaran sudah terlalu nyaman di Nauru.
“Tuan, kenapa kita harus lari lagi? Lagi pula, apakah kita memang bisa lari dari kematian?”
“Selama kita menjauh dari Mans, selama itu pula kita selamat,” jawab Jaey sekenanya karena tak menduga mendapat pertanyaan itu dari Khanif.
“Jangan-jangan dia juga akan mengikuti kita di tempat baru nanti.”
“Aku sudah mencari tahu dan menemukan tempat yang ramai. Semoga Mans kesulitan menemukan kita.”
“Baiklah, saya ikut saja. Saya malah senang bisa keliling dunia ketempat-tempat indah.”
Setelah menempuh berbulan-bulan perjalanan dengan kapal laut, sampailah mereka di sebuah pulau jawa Indonesia yang bernama selat sunda, mereka mendarat dipelabuhan ratu Sukabumi. Kota ini amat ramai baik siang maupun malam. Penduduk kota seolah tak pernah libur. Jaey sengaja memilih kota ini dengan maksud mengecoh Mans agar dia kesulitan menemukannya di tengah jutaan orang. Tiga bulan, lima bulan, tujuh bulan, sembilan bulan setengah, hidup mereka baik-baik saja. Mereka membuka kedai makan dengan menu khas bebek panggang. Di sebelah kedai mereka, berdiri kedai buah. Kali ini musim durian, tapi bukan sembarang durian. Durian langka yang hanya ada di pegunungan daerah situ saja.
Khanif Lens tergoda oleh aroma harumnya. Ia menunjuk durian seukuran kepala bocah. Pemilik kedai membantu membukanya dan segera menguar aroma wangi begitu terlihat buah kuning tembaga. Khanif segera mencolek buah lembek itu dan meletakkannya di ujung lidah. Tanpa sadar matanya terpejam mencecap sensasi rasa yang baru kali ini dia temukan. Seperti tapai, tapi jauh lebih manis, lebih gurih, dan lebih lembut. Khanif mencolek lagi dan sekali-kali membiarkan buah itu diam beberapa saat di tengah lidahnya yang dia kurung dalam mulut mengatup. Hidungnya menangkap aroma wangi tiada tara. Seketika itu Khanif menyimpulkan inilah buah paling nikmat yang pernah dia rasakan.
"Menikmati durian itu paling top dengan mengambil serta bersama bijinya lalu mencomotnya perlahan".... Saran penjual durian.
“Begitukah?”
“Coba saja. Bila memungkinkan, bisa sekalian mengulum bijinya sampai bersih.”
Khanif Lens mencoba kedua cara itu. Benar Durian berlemak itu begitu nikmat memenuhi mulut. Lalu dia mengulum biji durian itu, tapi pemilik kedai rupanya lupa bahwa untuk mengulum biji durian butuh keahlian tertentu. Bila tidak, bisa berakhir celaka seperti Khanif saat ini, matanya melotot dan kesulitan bernapas. Tampaknya dia tersedak biji durian. Pemilik kedai segara bangkit dan memeluk Khanif dari belakang lalu menyentakkan dekapannya dengan tujuan menghasilkan dorongan dari rongga perut agar biji itu segera keluar dari kerongkongan. Akan tetapi semua itu gagal.
Khanif memegangi lehernya dengan wajah memerah, lalu membiru dan mata kian melotot. Jaey yang ikut panik melihat itu segera membantunya dengan segala cara, termasuk cara-cara yang tidak pernah dia ketahui. Dia masukkan jemarinya ke dalam kerongkongan Khanif mencoba menarik biji durian yang terlihat sebagian itu. Sial. Biji itu justru melesak masuk. Pemilik kedai durian tak memperhitungkan jika ukuran biji durian itu terlampau besar untuk rongga kerongkongan Khanif. Dia lupa untuk memberi tahu agar Khanif mencoba buah yang kecil atau sedang saja. Dan semuanya telah terlambat.
“Biarkan saja. Sia-sia kalian menolongnya.”... Tiba-tiba terdengar suara yang sangat akrab di telinga Jaey.
Entah sejak kapan Mans berdiri sembari menyandarkan bahu kirinya ke pintu kedai dan kaki kanannya menyilang bertumpu pada kaki kiri sambil bersedekap. Senyumnya tengil seperti penjudi yang baru saja menang taruhan.
“Jangan berdiri saja di situ. Bantu diiaa!!" Hardik Jaey.
"Tak ada gunanya"... Kata Mans sembari melangkah pelan.
Khanif Lens meregang nyawa lalu lemas tanpa tanda-tanda kehidupan. Jaey Brown masih kebingungan menyaksikan peristiwa yang singkat itu. Sebaliknya, Mans tetap tersenyum cerah dan berkata.
“Satu tugasku sudah selesai.”
“Apa maksudmu?”
“Sesuai perjanjian, ia memang harus mati di sini, saat menyantap buah paling nikmat di dunia.”
“Jadi, yang selama ini kamu incar bukan aku?”
“Siapa bilang aku mengincar kau?”
Jaey Brown mematung, mungkinkah ia kembali ke negaranya...Atau menetap di Indonesia selamanya.
Pagi baru datang membawa angin semilir dan sinar lembut dari timur. Khanif Lens baru saja membuka kedai ketika desir angin membelai wajahnya. Matanya memicing disapa sinar matahari. Beberapa menit kemudian Jaey datang membawa dua bungkus roti untuk sarapan. Sembari menunggu pelanggan, mereka menikmati pagi dengan roti dan secangkir kopi. Menjelang suapan terakhir, Jaey mematung. Sisa roti yang dia pegang membeku di depan mulut. Matanya memandang lurus ke arah matahari terbit. Di kejauhan sana, terlihat siluet seorang pria berjalan mendekat. Jaey tahu, itu Mans.
“Ada urusan apa kamu ke sini?” todong Jaey Brown begitu Mans masuk kedainya.
"Urusanku banyak. Salah satunya memastikan kau baik-baik saja"... Balas Mans sembari menarik kursi dan duduk tanpa menunggu dipersilakan.
“Apa ini berarti waktuku sudah dekat?”
“Bukan hakku untuk memberi tahu.”
“Paling tidak, tolong kasih tahu aku jika memang ini belum waktuku.”
“Maaf, kawan. Bukan begitu cara kerjanya.”
Meskipun nada bicara Mans amat santun dan lembut, tetap saja itu mengguncang ketenangan Jaey. Kehadiran Mans selalu merujuk kepada ingatan tentang kematian. Itulah yang mendorong dia mengajak Khanif Lens pindah jauh ke timur meninggalkan Nauru. Khanif sempat menolak lantaran sudah terlalu nyaman di Nauru.
“Tuan, kenapa kita harus lari lagi? Lagi pula, apakah kita memang bisa lari dari kematian?”
“Selama kita menjauh dari Mans, selama itu pula kita selamat,” jawab Jaey sekenanya karena tak menduga mendapat pertanyaan itu dari Khanif.
“Jangan-jangan dia juga akan mengikuti kita di tempat baru nanti.”
“Aku sudah mencari tahu dan menemukan tempat yang ramai. Semoga Mans kesulitan menemukan kita.”
“Baiklah, saya ikut saja. Saya malah senang bisa keliling dunia ketempat-tempat indah.”
Setelah menempuh berbulan-bulan perjalanan dengan kapal laut, sampailah mereka di sebuah pulau jawa Indonesia yang bernama selat sunda, mereka mendarat dipelabuhan ratu Sukabumi. Kota ini amat ramai baik siang maupun malam. Penduduk kota seolah tak pernah libur. Jaey sengaja memilih kota ini dengan maksud mengecoh Mans agar dia kesulitan menemukannya di tengah jutaan orang. Tiga bulan, lima bulan, tujuh bulan, sembilan bulan setengah, hidup mereka baik-baik saja. Mereka membuka kedai makan dengan menu khas bebek panggang. Di sebelah kedai mereka, berdiri kedai buah. Kali ini musim durian, tapi bukan sembarang durian. Durian langka yang hanya ada di pegunungan daerah situ saja.
Khanif Lens tergoda oleh aroma harumnya. Ia menunjuk durian seukuran kepala bocah. Pemilik kedai membantu membukanya dan segera menguar aroma wangi begitu terlihat buah kuning tembaga. Khanif segera mencolek buah lembek itu dan meletakkannya di ujung lidah. Tanpa sadar matanya terpejam mencecap sensasi rasa yang baru kali ini dia temukan. Seperti tapai, tapi jauh lebih manis, lebih gurih, dan lebih lembut. Khanif mencolek lagi dan sekali-kali membiarkan buah itu diam beberapa saat di tengah lidahnya yang dia kurung dalam mulut mengatup. Hidungnya menangkap aroma wangi tiada tara. Seketika itu Khanif menyimpulkan inilah buah paling nikmat yang pernah dia rasakan.
"Menikmati durian itu paling top dengan mengambil serta bersama bijinya lalu mencomotnya perlahan".... Saran penjual durian.
“Begitukah?”
“Coba saja. Bila memungkinkan, bisa sekalian mengulum bijinya sampai bersih.”
Khanif Lens mencoba kedua cara itu. Benar Durian berlemak itu begitu nikmat memenuhi mulut. Lalu dia mengulum biji durian itu, tapi pemilik kedai rupanya lupa bahwa untuk mengulum biji durian butuh keahlian tertentu. Bila tidak, bisa berakhir celaka seperti Khanif saat ini, matanya melotot dan kesulitan bernapas. Tampaknya dia tersedak biji durian. Pemilik kedai segara bangkit dan memeluk Khanif dari belakang lalu menyentakkan dekapannya dengan tujuan menghasilkan dorongan dari rongga perut agar biji itu segera keluar dari kerongkongan. Akan tetapi semua itu gagal.
Khanif memegangi lehernya dengan wajah memerah, lalu membiru dan mata kian melotot. Jaey yang ikut panik melihat itu segera membantunya dengan segala cara, termasuk cara-cara yang tidak pernah dia ketahui. Dia masukkan jemarinya ke dalam kerongkongan Khanif mencoba menarik biji durian yang terlihat sebagian itu. Sial. Biji itu justru melesak masuk. Pemilik kedai durian tak memperhitungkan jika ukuran biji durian itu terlampau besar untuk rongga kerongkongan Khanif. Dia lupa untuk memberi tahu agar Khanif mencoba buah yang kecil atau sedang saja. Dan semuanya telah terlambat.
“Biarkan saja. Sia-sia kalian menolongnya.”... Tiba-tiba terdengar suara yang sangat akrab di telinga Jaey.
Entah sejak kapan Mans berdiri sembari menyandarkan bahu kirinya ke pintu kedai dan kaki kanannya menyilang bertumpu pada kaki kiri sambil bersedekap. Senyumnya tengil seperti penjudi yang baru saja menang taruhan.
“Jangan berdiri saja di situ. Bantu diiaa!!" Hardik Jaey.
"Tak ada gunanya"... Kata Mans sembari melangkah pelan.
Khanif Lens meregang nyawa lalu lemas tanpa tanda-tanda kehidupan. Jaey Brown masih kebingungan menyaksikan peristiwa yang singkat itu. Sebaliknya, Mans tetap tersenyum cerah dan berkata.
“Satu tugasku sudah selesai.”
“Apa maksudmu?”
“Sesuai perjanjian, ia memang harus mati di sini, saat menyantap buah paling nikmat di dunia.”
“Jadi, yang selama ini kamu incar bukan aku?”
“Siapa bilang aku mengincar kau?”
Jaey Brown mematung, mungkinkah ia kembali ke negaranya...Atau menetap di Indonesia selamanya.
Kirain Malaikat Jibril ternyata Hermany Moors tapi kayaknya iya ya Jibril menyamar? 🤣🤣
ReplyDeleteTadinya kirain berita tapi pas baca nama Jaey Brown langsung auto ngakak dan makin ngakak pas baca nama Hermany Moors saudaranya Demi More kah 🤣🤣
Benar2 kejutan gak nyangka Khanif Lens tewas tertelan biji durian. 😅👍👍
Betul Huu..Hermany Moors sebetulnya adalah sang malaikat pencabut nyawa.😁😁
DeleteKemungkinan masih satu guru Huu..🤣🤣🤣🤣🤣
Betul Huu.. Kalau dipelukan Janda takut nggak kuat dianya ...Jadi mending keselek biji Durian aja.🤣🤣
Dan kang Jaey lega ngga jadi tumbal.😁
DeleteIya lega 🤣🤣
DeleteWah jangan balik lagi ke negaranya, paling enak di Indonesia karena banyak rongdo dan tempat mangkal.🤣
ReplyDeleteTernyata khanif yang diincar oleh Herman ya, mungkinkah buat teman mangkal di alam sana kang.😂
Betul itu, Dan Sepertinya Jaey Brown akan menetap di Indonesia sampai ia mendapatkan wanita Rongdo bernama Manda..
DeleteBisa juga untuk mencari Mira disana kang.🤣🤣
Sayangnya setelah mendapatkan rongdo bernama Manda, Jaey didatangi oleh Herman Moors karena khanif kangen sama dia.🤣
DeleteAkhirnya Jaeypun dipentung oleh Hermany Moors agar ia dapat bertemu Khanif Lens.🤣🤣🤣
DeletePantesan tersedak pas ngeroko tadi rupanya cerpennya bersambung sampai ke kolom komentar 🤣🤣
DeleteLanjut guys, jadi habis itu siapa lagi yg didatangi Hermany mor 🤣
🤣🤣🤣🤣🤣 Habis itu si Agus bakal disuruh jadi pemangkal Handal diakherat.🤣🤣🤣
Deletewakakakkakak mbul dah serius serius bacanya kayak dialog ala ala film zoro atau three musketeer eee kok malah kesedak biji durian kang satria...piwe sih hahhahahhaha..
ReplyDeletengomong omong sarapan roti ama kopi udah paling nikmat kalau abis bangun bubuk. Apalagi kalau blom sempet bikin nasi
kota nauru ada beneran ya di benua kangguru...otewe peta kalau begucuw 😂🤣
🤣🤣🤣🤣🤣 Kan kita tak tahu kapan kematian itu datang...jadi keselek biji duren kalau udah ditakdirkan mati yaa mati saja.🤣🤣🤣
ReplyDeleteBetul mbul cuma semua menjadi hambar jika didatangi oleh Hermany Moors
Ada mbul coba aje googling.😊😊