Cerpen : Mungkin Harus Ku Berlalu
CERITA INI HANYA FIKTIF DAN BUALAN BELAKA
Derap langkah sepatu memasuki sebuah Restoran ternama dikawasan Blok.M Jakarta selatan. Setelah menuntaskan sebuah pekerjaannya seorang pria bernama Hermansyah selalu mengunjungi Restoran tersebut.
Sebagian orang beranggapan tempat itu hanya untuk makan siang setelah setengah hari bekerja. Namun tidak dengan seorang Hermansyah. Menurutnya restoran itu banyak membawa kenangan indah bagi dirinya selama 6 tahun berlalu. Meski pada kenyataannya kenangan itu hanya membawa luka terhadap dirinya ia pun tetap tidak peduli.
Setelah memesan segelas kopi kesukaannya ia pun kembali meneliti arsip-arsip kerjanya agar kembali tersusun rapi. Meski hanya pegawai kantor notaris pertanahan Hermansyah juga punya hobi menulis yang selalu ia tumpahkan di laptop kesayangannya. Tak heran di internet namanya begitu melambung tinggi karena apa yang ia tulis dari syair, cerita, serta inspirasi hidup banyak membuat penggemar jagad maya takjub terhadap karyanya.😱😱
Sebagian orang beranggapan tempat itu hanya untuk makan siang setelah setengah hari bekerja. Namun tidak dengan seorang Hermansyah. Menurutnya restoran itu banyak membawa kenangan indah bagi dirinya selama 6 tahun berlalu. Meski pada kenyataannya kenangan itu hanya membawa luka terhadap dirinya ia pun tetap tidak peduli.
Setelah memesan segelas kopi kesukaannya ia pun kembali meneliti arsip-arsip kerjanya agar kembali tersusun rapi. Meski hanya pegawai kantor notaris pertanahan Hermansyah juga punya hobi menulis yang selalu ia tumpahkan di laptop kesayangannya. Tak heran di internet namanya begitu melambung tinggi karena apa yang ia tulis dari syair, cerita, serta inspirasi hidup banyak membuat penggemar jagad maya takjub terhadap karyanya.😱😱
Baru saja selesai membereskan arsip kerjanya, Dan akan membuka laptop padangan Hermansyah teralihkan oleh seorang wanita berambut panjang dengan pakaian berwarna hijau.
"Heemm apakah aku tidak sedang bermimpi bukankah itu Bintang Berliana....Sepertinya ini nyata, Lalu apa yang membuat dirinya bisa terbawa ketempat ini, Atau ...Tapi, Aahh!!"....
Akhirnya untuk menghilangkan penasarannya Hermansyah memanggil wanita berambut panjang berbaju hijau itu.
"Bintang...Bintang Berliana"..
"Heemm apakah aku tidak sedang bermimpi bukankah itu Bintang Berliana....Sepertinya ini nyata, Lalu apa yang membuat dirinya bisa terbawa ketempat ini, Atau ...Tapi, Aahh!!"....
Akhirnya untuk menghilangkan penasarannya Hermansyah memanggil wanita berambut panjang berbaju hijau itu.
"Bintang...Bintang Berliana"..
Gadis berbaju hijau itupun menoleh dan seraya tak percaya namun meski sedikit ragu ia tetap menghampiri pria yang memanggil namanya.
“Mas Herman? Kamu disini? Sendiri?”
“Kamu benar Hermansyahkan? Kamu…...” Napas Bintang serasa sesak tiba-tiba. Seolah ia berada kembali di masa lampau.
Dengan spontan Hermanpun langsung mencium pipi Bintang. Lantas duduk di hadapannya. Persis seperti enam tahun yang lalu di pertemuan awal sekolah lalu.
“Apa kabar?”
“Baik. Kamu?”
“Baik. Sebentar…. Mas, jus melon dan pangsit kuah ya.”
Upffhh!
“Menumu belum berubah juga, Mas Her?”....Seru Bintang basa-basi. Derap irama dadanya mulai berguncangan memandang sorot mata Hermansyah.
“Kamu sedang apa disini? Kenapa disini?” tanya Hermansyah. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Bintang rupanya.
“Kamu sendiri kenapa kemari?”.....Seru Bintang.
“Mas Herman? Kamu disini? Sendiri?”
“Kamu benar Hermansyahkan? Kamu…...” Napas Bintang serasa sesak tiba-tiba. Seolah ia berada kembali di masa lampau.
Dengan spontan Hermanpun langsung mencium pipi Bintang. Lantas duduk di hadapannya. Persis seperti enam tahun yang lalu di pertemuan awal sekolah lalu.
“Apa kabar?”
“Baik. Kamu?”
“Baik. Sebentar…. Mas, jus melon dan pangsit kuah ya.”
Upffhh!
“Menumu belum berubah juga, Mas Her?”....Seru Bintang basa-basi. Derap irama dadanya mulai berguncangan memandang sorot mata Hermansyah.
“Kamu sedang apa disini? Kenapa disini?” tanya Hermansyah. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Bintang rupanya.
“Kamu sendiri kenapa kemari?”.....Seru Bintang.
“Tidak bisakah kamu menjawab pertanyaan bukan dengan pertanyaan?” tanya Herman. Ia menarik tangan Bintang dalam genggamannya.
“Kamu belum berubah, Bin. Sungguh. Masih sama persis seperti di akhir pertemuan kita dulu.”
Bintang mencoba melepaskan tangannya dari gemgaman Herman. Berusaha untuk tidak membuatnya tersinggung.
“O, ya? Sayangnya aku harus bilang kalau kamu bertambah sepuluh tahun lebih tua dari yang terakhir kulihat.”
Herman tertawa... Seperti kegirangan bah seorang bayi yang tengah mendapatkan perhatian.....“Mmmh, ini pernyataan yang paling jujur untukku hari ini. Betul. Betul. Aku memang terlihat lebih tua sejak bercerai.”
Bintang nampak terhenyak.
Apakah ini kebetulan? Di tempat yang sama?... Bukankah dulu dia bilang ia bahagia dengan pernikahannya? Bahkan ia memvonisku ingin berselingkuh dengannya bila ada kesempatan.
“Kamu belum berubah, Bin. Sungguh. Masih sama persis seperti di akhir pertemuan kita dulu.”
Bintang mencoba melepaskan tangannya dari gemgaman Herman. Berusaha untuk tidak membuatnya tersinggung.
“O, ya? Sayangnya aku harus bilang kalau kamu bertambah sepuluh tahun lebih tua dari yang terakhir kulihat.”
Herman tertawa... Seperti kegirangan bah seorang bayi yang tengah mendapatkan perhatian.....“Mmmh, ini pernyataan yang paling jujur untukku hari ini. Betul. Betul. Aku memang terlihat lebih tua sejak bercerai.”
Bintang nampak terhenyak.
Apakah ini kebetulan? Di tempat yang sama?... Bukankah dulu dia bilang ia bahagia dengan pernikahannya? Bahkan ia memvonisku ingin berselingkuh dengannya bila ada kesempatan.
“Bin, dimakan dong pesanannya?”...Tegur Herman.
Bintang Tak menjawab Perutnya tiba-tiba serasa kenyang mendengar perkataan Herman. Dengan berita yang besar pula. Bintang merasa ingatannya belum luntur karena dulu kata-kata Herman.
Hermanpun melanjutkan perkataannya
“Sudahlah. Itu sudah berakhir dua tahun yang lalu. Aku tidak ingin mengungkit namanya lagi. Mengingatnya sama dengan membuatku mengenang cerita yang tidak akan abadi. Tahukah kamu kalau sudah enam bulan ini, aku selalu makan siang di sini. Setiap hari, kecuali kalau harus entertain klien?”...Seru Herman
"Tentu saja aku tidak tahu. Aku berusaha untuk tidak mau tahu lagi dengan urusanmu karena sakit hati. Mungkin kamu berpikir hanya kamu orang yang paling berbahagia di dunia. Sorry mas Her batasan kebahagiaan diukur dari masing-masing hati. Dan sampai saat ini, aku juga masih bahagia dengan keberadaanku. Walaupun juga sudah tidak selengkap dulu."...Balas Bintang.
Bintang Tak menjawab Perutnya tiba-tiba serasa kenyang mendengar perkataan Herman. Dengan berita yang besar pula. Bintang merasa ingatannya belum luntur karena dulu kata-kata Herman.
Hermanpun melanjutkan perkataannya
“Sudahlah. Itu sudah berakhir dua tahun yang lalu. Aku tidak ingin mengungkit namanya lagi. Mengingatnya sama dengan membuatku mengenang cerita yang tidak akan abadi. Tahukah kamu kalau sudah enam bulan ini, aku selalu makan siang di sini. Setiap hari, kecuali kalau harus entertain klien?”...Seru Herman
"Tentu saja aku tidak tahu. Aku berusaha untuk tidak mau tahu lagi dengan urusanmu karena sakit hati. Mungkin kamu berpikir hanya kamu orang yang paling berbahagia di dunia. Sorry mas Her batasan kebahagiaan diukur dari masing-masing hati. Dan sampai saat ini, aku juga masih bahagia dengan keberadaanku. Walaupun juga sudah tidak selengkap dulu."...Balas Bintang.
“Bin, kamu juga sudah bercerai kan?”....Tanya Herman kembali.
Nurani Bintang bagai menghentak-hentak. Apa yang dia tahu tentangku?
“Sejak tahu kamu sudah bercerai itulah, aku selalu ke resto ini. Berharap kamu masih punya sekelumit memori tentang kita di tempat ini. And.. this is the day!”
“Maksudmu apa?”
“Aku buta, Bin. Selama ini cinta sejatiku ada di dekatku, tetapi kutelantarkan. Mungkin Tuhan berencana lain. Kita harus memiliki pasangan dulu untuk bisa mengetahui ada mutiara yang sesungguhnya yang seharusnya dijaga.”
Yaa ampun, masih selalu se-pede inikah mas Her yang kukenal dulu? Menganggap kalau apa yang ada dipikirannya pasti sesuai dengan kenyataan. Apa yang diinginkannya, pasti dapat ia wujudkan?....Dalam hati Bintang.
“Lantas?”.....Tanya Bintang kembali.
Nurani Bintang bagai menghentak-hentak. Apa yang dia tahu tentangku?
“Sejak tahu kamu sudah bercerai itulah, aku selalu ke resto ini. Berharap kamu masih punya sekelumit memori tentang kita di tempat ini. And.. this is the day!”
“Maksudmu apa?”
“Aku buta, Bin. Selama ini cinta sejatiku ada di dekatku, tetapi kutelantarkan. Mungkin Tuhan berencana lain. Kita harus memiliki pasangan dulu untuk bisa mengetahui ada mutiara yang sesungguhnya yang seharusnya dijaga.”
Yaa ampun, masih selalu se-pede inikah mas Her yang kukenal dulu? Menganggap kalau apa yang ada dipikirannya pasti sesuai dengan kenyataan. Apa yang diinginkannya, pasti dapat ia wujudkan?....Dalam hati Bintang.
“Lantas?”.....Tanya Bintang kembali.
“Aku ingin memulainya Bin.”
“Memulai untuk…?”
“Mencintaimu?”...Seru Herman tegas.
Tubuh Bintang serasa mengejang. Meskipun ia tahu pembicaraan ini akan mengarah kesana, tetapi tetap saja membuat dirinya kaku. Momen inilah yang sebenarnya ingin kuraih sejak dulu. Ketika belum ada kerut yang menganggu di ujung mataku. Ketika aku masih belum disentuh oleh pria lain manapun ketika tubuhku masih langsing berbikini. Bukan sekarang!.....Resah hati Bintang.
“Maaf, Bin. Mungkin saatnya kurang tepat, bukan?...Kamu masih trauma dengan perceraianmu? Aku hanya terlalu bahagia bisa kembali berjumpa denganmu. Seperti dahulu kala."....Ungkap Herman.
“Tidak, mas Her. Aku bukan janda cerai. Suamiku, Mas Budi meninggal karena kanker hati.”
Hermansyah nampak terkejut.!
“Memulai untuk…?”
“Mencintaimu?”...Seru Herman tegas.
Tubuh Bintang serasa mengejang. Meskipun ia tahu pembicaraan ini akan mengarah kesana, tetapi tetap saja membuat dirinya kaku. Momen inilah yang sebenarnya ingin kuraih sejak dulu. Ketika belum ada kerut yang menganggu di ujung mataku. Ketika aku masih belum disentuh oleh pria lain manapun ketika tubuhku masih langsing berbikini. Bukan sekarang!.....Resah hati Bintang.
“Maaf, Bin. Mungkin saatnya kurang tepat, bukan?...Kamu masih trauma dengan perceraianmu? Aku hanya terlalu bahagia bisa kembali berjumpa denganmu. Seperti dahulu kala."....Ungkap Herman.
“Tidak, mas Her. Aku bukan janda cerai. Suamiku, Mas Budi meninggal karena kanker hati.”
Hermansyah nampak terkejut.!
“Ahh, Tapi yang kudengar…., “ desahnya.
“Apa yang kaudengar tentu saja belum tentu sesuai dengan kenyataan.”...Jawab Bintang.
“Benarkah, Bin?”
"Ia, mas,Her, tiba-tiba saja semakin bertambah tua dari umurnya yang sesungguhnya. Bisa kulihat sikat tubuhnya yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Dari terlalu percaya diri menjadi runtuh menciut berkeping"...
“Mungkin bila seorang pria, bila ditinggal meninggal oleh belahan jiwanya, mungkin mudah untuk mencari cinta lain sebagai pelengkap dalam hidupnya. Ada begitu banyak kesempatan untuk mencapai hal itu, bukan? Tetapi seorang wanita, terutama seperti aku…. Kurasa butuh puluhan tahun untuk bisa menjawabnya,”....Seru Bintang bijak.
“Apa yang kaudengar tentu saja belum tentu sesuai dengan kenyataan.”...Jawab Bintang.
“Benarkah, Bin?”
"Ia, mas,Her, tiba-tiba saja semakin bertambah tua dari umurnya yang sesungguhnya. Bisa kulihat sikat tubuhnya yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Dari terlalu percaya diri menjadi runtuh menciut berkeping"...
“Mungkin bila seorang pria, bila ditinggal meninggal oleh belahan jiwanya, mungkin mudah untuk mencari cinta lain sebagai pelengkap dalam hidupnya. Ada begitu banyak kesempatan untuk mencapai hal itu, bukan? Tetapi seorang wanita, terutama seperti aku…. Kurasa butuh puluhan tahun untuk bisa menjawabnya,”....Seru Bintang bijak.
“Bin, maafkan aku. Aku turut berduka. Tetapi… mengapa kamu mengunjungi tempat ini kembali kalau aku telah membuatmu terluka?”...Tanya Hermansyah.
“Sebenarnya aku ingin mencari seorang sahabatku yang hilang. Waktu itu aku ingin mencurahkan kepedihanku. Tentang saat-saat aku berjuang mencintai almarhum suamiku mas Budi. Sampai detik terakhir napas kehidupannya. Ternyata aku salah. Yang kutemui hanyalah seorang Hermansyah yang arogan. Menuduhku yang bukan-bukan atas nama kenangan masa lalu.“
“Aku tetap sahabatmu, Bin. Sampai kapanpun. Aku masih seperti yang dulu.”...Kilah Herman.
“Tidak, Mas Her. Yang kutahu dari pertemuan ini, aku tidak bisa lagi mengandalkanmu sebagai sahabat. Kau sudah memandangku dari sudut cinta yang lain. Maafkan aku, Mas Herman”
Makanan Bintang baru sepertiga tersentuh. Akan tetapi ia sudah tidak berselera lagi. Begitupun Herman.
"Mas Her, Kuharap perjumpaan ini adalah perjumpaan terakhir kita berdua. Karena nuraniku ternyata tidak seperti dulu lagi. Tidak berdetak berirama cepat karena ingin memilikimu. Semoga kau mengerti. Maafkan aku juga bila harus berlalu dari kehidupanmu serta hatimu."
“Sebenarnya aku ingin mencari seorang sahabatku yang hilang. Waktu itu aku ingin mencurahkan kepedihanku. Tentang saat-saat aku berjuang mencintai almarhum suamiku mas Budi. Sampai detik terakhir napas kehidupannya. Ternyata aku salah. Yang kutemui hanyalah seorang Hermansyah yang arogan. Menuduhku yang bukan-bukan atas nama kenangan masa lalu.“
“Aku tetap sahabatmu, Bin. Sampai kapanpun. Aku masih seperti yang dulu.”...Kilah Herman.
“Tidak, Mas Her. Yang kutahu dari pertemuan ini, aku tidak bisa lagi mengandalkanmu sebagai sahabat. Kau sudah memandangku dari sudut cinta yang lain. Maafkan aku, Mas Herman”
Makanan Bintang baru sepertiga tersentuh. Akan tetapi ia sudah tidak berselera lagi. Begitupun Herman.
"Mas Her, Kuharap perjumpaan ini adalah perjumpaan terakhir kita berdua. Karena nuraniku ternyata tidak seperti dulu lagi. Tidak berdetak berirama cepat karena ingin memilikimu. Semoga kau mengerti. Maafkan aku juga bila harus berlalu dari kehidupanmu serta hatimu."
Setelah Bintang berlalu Herman pun hanya bisa pasrah, Meski kendanti hatinya begitu berat untuk melepas kepergian Bintang namun dirinya tahu watak serta sifatnya. Suasana menjadi hening hanya deru mangkok dan piring yang berdetingan disekitar posisi meja makan yang Herman tempati.
Ia pun terus melamunkan dirinya ke masa lalunya. Dan terus menunggu, Meski yang telah ia harapkan harus kembali menunggu dan terus menunggu. Hingga semua itu pasti kan berlalu dalam kehidupan senja nanti.
Ia pun terus melamunkan dirinya ke masa lalunya. Dan terus menunggu, Meski yang telah ia harapkan harus kembali menunggu dan terus menunggu. Hingga semua itu pasti kan berlalu dalam kehidupan senja nanti.
Labels: Cerita